terbukti menghasilkan uang

Rabu, 07 September 2011

Hukum Puasa Syawal Sebelum Mengqadha Puasa Ramadhan

Tidak hanya bagi sebagian besar kaum wanita, kaum laki-laki adakalanya tidak bisa menunaikan kewajiban puasa Ramadhan secara penuh, baik karena safar atau sakit pada sebagian harinya. Selama uzurnya syar’i, tentu tidak ada dosa baginya.
Berkaitan dengan puasa enam hari bulan Syawal, ada persoalan yang perlu dipahami oleh mereka yang puasanya tidak sempurna tersebut. Pertama, bolehkah mendahulukan puasa enam hari Syawal sebelum mengqadha puasa Ramadhan. Kedua, apakah keutamaan puasa enam hari Syawal tersebut bisa diraih bila puasa Syawal didahulukan sebelum mengganti puasa Ramadhan. Berikut ini kami nukilkan ulasan Khalid bin Abdullah Al-Muslih mengenai hal ini, dari saaid.net.

Para ulama berbeda pendapat mengenai persoalan ini:

Pertama, boleh berpuasa sunnah enam hari pada bulan Syawal sebelum menunaikan qadha puasa Ramadhan. Ini merupakan pendapat jumhur, baik boleh secara mutlak maupun boleh tetapi kurang disukai (karahah). Ulama hanafiyah mengatakan, boleh berpuasa sunnah enam hari pada bulan Syawal sebelum menunaikan qadha puasa Ramadhan karena qadha puasa Ramadhan bukan kewajiban yang harus dijalankan segera, melainkan kewajiban yang waktunya luas. Salah satu dari pendapat Imam Ahmad juga demikian.
Adapun Ulama Malikiyah dan Syafi'iyah, mereka juga menyatakan boleh tetapi kurang disukai. Alasannya, bila itu dilakukan berarti telah mendahulukan ibadah yang sunnah dan menunda yang wajib.
Kedua, tidak dibolehkan. Namun, pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ini adalah pendapat yang membolehkannya. Sebab, waktu qadha puasa Ramadhan itu luas, maka siapa yang menyatakan tidak boleh dan tidak sah, ia harus mendatangkan dalil, sementara tidak ada dalil apa pun yang dijadikan landasan dalam hal ini.

Tentang keutamaan puasa enam hari pada bulan Syawal sebelum mengqadha puasa Ramadhan, juga ada dua pendapat:
Pertama, bahwa keutamaan puasa enam hari bulan Syawal tidak akan didapat, kecuali bagi mereka yang telah mengqadha puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena uzur syar’i. Pendapat ini didasarkan kepada sabda Nabi saw:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa puasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari bulan Syawal maka itu bagaikan berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim dan lainnya).

Puasa Ramadhan yang dimaksud dalam hadits tersebut terwujud bagi orang yang puasa tanpa putus. Al-Haitami mengatakan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj, III/ 457, “Karena keutamaan itu bersamaan dengan puasa Ramadhan, yakni seluruhnya. Bila tidak, tentu keutamaan itu tidak didapat meskipun seseorang tidak puasa karena uzur (syar’i)”
Sejumlah ulama kontemporer, juga berpendapat demikian, seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Utsaimin.

Kedua, bahwa keutamaan puasa enam hari bulan Syawal tetap berlaku bagi orang-orang yang menjalankannya meskipun belum mengqadha sebagian puasa Ramadhan yang tidak dijalankan karena uzur. Sebab, orang yang tidak berpuasa beberapa hari pada bulan Ramadhan karena uzur yang syar’i seperti haid, bagi wanita, berarti ia telah menjalankan puasa dengan benar. Maka, jika ia berpuasa enam hari bulan Syawal sebelum mengqadha puasa Ramadhannya, pahala puasa Syawal seperti yang disebutkan oleh Nabi saw tetap berlaku baginya. Al-Bujayrami dalam komentarnya terhadap Al-Khatib (II/ 352), setelah menyebutkan pendapat yang mengatakan bahwa pahala tidak akan didapat bila mendahulukan puasa enam hari sebelum mengqadha dengan dalil sabda Nabi saw “kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal” telah menukil beberapa jawaban ulama tentang ini, “Adakalanya dikatakan sesuatu yang mengikuti itu mencakup yang ditakdirkan sebab orang yang menunaikan qadha Ramadhan setelahnya maka secara takdir ia telah mendapatkan apa yang sebelumnya, atau sesuatu yang mengikuti itu mencakup yang diakhirkan sebagaimana tambahan kewajiban yang mengikutinya.” Dia juga mengatakan dalam Al-Mabda’ (III/ 52), “Tetapi disebutkan dalam Al-Furu’ bahwa keutamaan puasa Syawal berlaku bagi orang yang menunaikannya sebelum mengqadha Ramadhan  bagi yang berbuka karena uzur. Kemungkinan inilah maksud ulama yang berpendapat demikian.”
Kesimpulan:
Tampak bagi saya (Khalid bin Abdullah Al-Muslih) bahwa kedua lebih dekat kepada kebenaran, terutama bahwa makna yang menunjukkan keutamaan puasa tersebut tidak tergantung pada penyelesaian qadha sebelum puasa enam hari. Karena orang yang mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal para bulan-bulan setelah Syawal  disebut sebagai orang yang telah menunaikan puasa secara sah. Di samping itu, pendapat pertama secara tidak langsung telah membatasi waktu qadha hanya pada bulan Syawal, padahal Allah memberikan waktu yang luas dalam hal ini.

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185).
Sedangkan puasa enam hari bulan Syawal merupakan keutamaan khusus yang akan berlalu dengan berlalunya bulan Syawal. Meski demikian, kalau bisa memulai dengan membebaskan diri dari kewajiban puasa fardhu itu lebih utama daripada sibuk dengan ibadah yang sunah. Namun, siapa yang berpuasa enam hari Syawal kemudian mengqadha setelah itu, maka keutamaan puasa tersebut berlaku baginya sebab tidak ada dalil yang menghilangkannya. Wallahu a’lam(m.faqih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar